Definisi Infaq/Sedekah/Shadaqah
Al-Jurjani berkata,
“Shadaqah adalah pemberian yang diharapkan dengannya pahala dari
Allah ‘Azza wa Jalla”. Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan shadaqah
sebagai berikut, “Sesuatu yang manusia keluarkan dari hartanya dengan
maksud mendekatkan diri kepada Allah seperti zakat. Akan tetapi shadaqah
secara asalnya dimaksudkan untuk yang sunnah, sedangkan zakat untuk
yang wajib.”
Perbedaan shadaqah dan infaq
- Shadaqah, tidak khusus harta saja; bisa berupa amalan lisan atau
perbuatan atau menginfakkan harta, karena hal ini disebutkan nabi dalam
beberapa hadits shahiih (akan dijelaskan). Karena maknanya umum,
“pemberian yang diberikan kepada Allah” (sebagaimana definisi diatas),
dan ini tidka hanya khusus harta saja.
- Adapun Infaq, maknanya mengeluarkan harta; Sehingga infaq, khusus
dalam hal harta saja.. Sedangkan mengeluarkan harta, bisa berarti
dijalan Allah (dan ini bisa disebut juga shadaqah), bisa pula dijalan
yang diperbolehkan, bisa pula bermakna tercela.
Adapun infaq yang tercela; terbagi dua:
(1) Isyraf : Berlebih-lebihan/bermewah-mewahan dalam perkara yang mubah
(2) dan Tabdzir: Membelanjakan harta dalam perkara maksiat meskipun hanya satu rupiah.
Perintah Allah kepada kaum muslimin untuk ber-shadaqah
Allah banyak menganjurkan shadaqah di dalam Al-Qur’an, karena ia
merupakan solusi jitu dalam mengatasi musibah dan krisis sebagaimana hal
ini telah dipraktekkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- , dan
para sahabat. Allah -Ta’ala- berfirman dalam menuntun kaum muslimin
untuk mengeluarkan shadaqah,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ
عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ
وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ
أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”
(QS. Al-Baqarah: 177)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang)
itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”.
(QS. Al-Baqarah: 280)
Menafkahkan harta dalam al qur-aan
Diantara sifat seorang mukmin yang terdapat pada ayat-ayat al-qur’an
yaitu menafkahkan harta yang dicintainya, sebagaimana dalam firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan
sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Al-Anfal: 3)
Yakni, rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka lalu mereka mengeluarkannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang maksud “menafkahkan” disini, yaitu sebagai berikut:
1. Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan “nafkah” yang dikeluarkan itu adalah zakat wajib.
2. Ada yang mengatakan, yang dimaksud dengan “nafkah” tersebut adalah shadaqah tathawu’ atau sukarela.
3. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut adalah hak-hak yang ada
dalam harta selain zakat, karena Allah subhanahu wa ta’ala ketika
menyebutkannya, berbarengan dengan shalat, maka nafkah tersebut menjadi
wajib, dan ketika tidak disebutkan berbarengan dengan shalat maka yang
fardhu hanya shalat, sedangkan nafkah tersebut tidak fardhu.
4. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “nafkah”
tersebut adalah nafkah dalam makna umum, dan inilah pendapat yang paling
dekat dengan kebenaran, karena infak tersebut menempati posisi
“terpuji” jika dilakukan sebagian harta yang diberikannya kepada mereka
dan infak hanya dapat dilakukan dari rezeki yang halal. Maksud ayat
tersebut adalah, “Mereka mengeluarkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh
syari’at berupa zakat atau yang lainnya, yang terkadang muncul pada
beberapa keadaan, dan mereka dianjurkan untuk melakukan semua itu”
[Al-Jami' (1/125) oleh Al-Imam Qurthubi dan Tafsir Al-Qur'an al-Azhim (1/42) oleh Al-Imam Ibnu Katsir]
Diantara shadaqah yang wajib
Wajib bagi kita untuk mengetahui shadaqah-shadaqah yang wajib.
1. Menafkahi diri sendiri
Hal ini berlaku ketika ia telah lepas dari tanggung jawab orang
tuanya, dan ketika ia telah mampu untuk mencari nafkah sendiri untuk
dirinya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
تَصَدَّقُوا
“Ber-shadaqah-lah kalian”
lalu seseorang berkata “ya Rasulullah aku hanya memiliki satu dinar”
beliau menjawab:
تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ
“Ber-shadaqah-lah dengannya untuk dirimu…”
(Ahmad, Abu Dawud, Nasaa-iy, dll; dikatakan oleh Syaikh al-Albaaniy “Hasan Shahiih”)
Hukum asal perintah adalah wajib, dan pada hadits diatas; Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk
bershadaqah. Maka berkata salah seorang shahabat, “aku hanya punya satu
dirham”; dijawab Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
“ber-shadaqah-lah dengannya UNTUK DIRIMU”. Benar, dengan satu dirham
itu; ia bisa membeli makanan dan minuman untuk dirinya, sehingga ia bisa
tetap hidup!
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
“‘Setiap muslim ber-shadaqah.’
Para shahabat bertanya, ‘wahai Rasulullah, bagaimana jika tidak mampu?’,
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bekerjalah dengan tangan sendiri sehingga bermanfaat bagi dirinya, lalu ia bershadaqah.’
Para shahabat bertanya, ‘Bagaimana jika tidak mampu?’,
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Menolong orang yang mempunyai kebutuhan dan yang sedang susah.’
Para shahabat bertanya lagi, ‘Bagaimana jika dia tidak dapat melakukannya?’,
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Memerintahkan berbuat baik atau berbuat makruf.’
Para shahabat bertanya lagi, ‘Jika dia tidak dapat melakukannya?’,
Jawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Menahan diri dari
berbuat buruk, maka hal itu merupakan shadaqah bagi dirinya.’
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Abi Abdillah (Zubair) bin Awwam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah bersabda:
لأَنْ يَأْخُذَ اََحَدُكُمْ اَحْبُلَهُ ثُمَّ يَاْتِى الْجَبَلَ
فَيَاْتِىَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِخِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ
اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ اَعْطَوْهُ
اَوْ مَنَعُوْهُ.
“Sesungguhnya, seorang di antara kalian membawa tali-talinya dan
pergi ke bukit untuk mencari kayu bakar yang diletakkan di punggungnya
untuk dijual sehingga ia bisa menutup kebutuhannya, adalah lebih baik
daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau
tidak”.
[HR Bukhari, no. 1471}
Dari Miqdam bin Ma’dikariba Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, ia berkata:
مَا اَكَلَ اَحَدٌطَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ
عَمَلِ يَدِْهِ, وَاِنَّ نَبِيَّّ اللهِ دَاوُدُ عَلَيْهِ السَّلامُ كَانَ
يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِْهِ.
“Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada hasil
usahanya sendiri, sedang Nabi Daud Alaihissalam juga makan dari hasil
usahanya sendiri”.
[HR Bukhari, no. 2072}
Terlarang meminta-minta (mengemis) atau menjadi beban orang lain!
Ketahuilah! syari’at Islaam MELARANG seseorang MEMINTA-MINTA/MENGEMIS atau menjadi beban hidup orang lain!
dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia
akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun
di wajahnya”.
[Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103]
Bahkan lebih tercela lagi bagi mereka yang meminta-minta tanpa ada kebutuhan (yang mendesak) !!
مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.
“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api”
[Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan
ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat
Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281]
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ
يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.
“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya
dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas
suatu hal atau perkara yang sangat perlu”
[Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i
(V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu
Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul
Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam
Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076)
Dan terhadap penguasa pun, tidak boleh sering meminta-minta!
Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam Radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata: Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah
memberiku. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا حَكِيْمُ، إِنَّ هَذَا الْـمَـالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ
أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْه ِ، وَمَنْ أَخَذَهُ
بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ
“Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa
mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya.
Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka
Allah tidak memberikan berkah kepadanya…
وَكَانَ كَالَّذِيْ يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ
dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap)
bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada
berkah padanya)
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى.
Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)”.
Kemudian Hakîm berkata:
“Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku
tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal
dunia”.
Ketika Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, ia memanggil
Hakîm Radhiyallahu ‘anhu untuk memberikan suatu bagian yang berhak ia
terima. Namun, Hakîm tidak mau menerimanya, sebab ia telah berjanji
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia memanggil Hakîm untuk memberikan sesuatu namun ia juga tidak mau menerimanya.
Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata di hadapan para sahabat:
“Wahai kaum Muslimin! Aku saksikan kepada kalian tentang Hakîm bin
Hizâm, aku menawarkan kepadanya haknya yang telah Allah berikan
kepadanya melalui harta rampasan ini (fa’i), namun ia tidak mau
menerimanya. Dan Hakîm Radhiyallahu ‘anhu tidak mau menerima suatu apa
pun dari seorang pun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
ia meninggal dunia”
[Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), dan lainnya]
Namun, dalam beberapa keadaan, syari’at membolehkan meminta-minta
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali
Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ، إِنَّ الْـمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ
الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ-
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup,
وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي
الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ : لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ ، فَحَلَّتْ
لَهُ الْـمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَ قِوَامًا مِنْ عَيْش ٍ، –أَوْ قَالَ :
سِدَادً مِنْ عَيْشٍ- فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْـمَسْأَلَةِ
dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga
orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ (maka) ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan
sandaran hidup.
يَا قَبِيْصَةُ ، سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.
[Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad (III/477,
V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359,
2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387
–at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya]
2. Menafkahi keluarga (anak dan istri; atau/dan orang tua)
Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Dan kewajiban AYAH memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya.
(Al-Baqara: 233)
Allah berfirman;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka
(An-Nisaa: 34)
Abu Umamah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ
وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai anak Adam! Sesungguhnya jika kamu men-shadaqah-kan kelebihan
hartamu, itu lebih baik bagimu daripada kamu simpan, karena hal itu akan
lebih berbahaya bagimu. Dan kamu tidak akan dicela jika menyimpan
sekedar untuk keperluan. DAHULUKANLAH MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG
MENJADI TANGGUNGANMU. Tangan yang di atas adalah lebih baik, daripada
tangan yang di bawah.”
(HR. Muslim)
Rasulullah bersabda:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Dan mereka (para isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu,
yaitu (kamu wajib memberi) rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka
dengan ma’ruf (baik)”.
[HR Muslim, no. 1218]
dari Hakim bin Mu’awiyah Al Qusyairi dari [ayahnya], ia berkata; aku
katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami
atasnya?
beliau bersabda:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian…”
[HR Abu Dawud, no. 2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”]
Adapun menafkahkan orang tua, khususnya ketika orang tua kita
sudah tidak memiliki harta, atau sudah tidak mampu mengurus dirinya
sendiri (walaupun berharta, karena sudah tua renta)
Allah berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah MENETAPKAN supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut; BERADA DISISIMU (yaitu dalam pemeliharaanmu)…
فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
…maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
Dan Rabbmu telah MENETAPKAN supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.
Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(Al-Israa: 23)
1. Lihatlah dalam ayat ini Allah menggunakan kata Qadhaa (menetapkan)
maka hal ini LEBIH TINGGI derajatnya daripada sekedar memerintahkan
(sebagaimana dijelaskan para ulamaa’ ahli tafsir)!!
2. Lihatlah dalam ayat ini ALLAH MENGGANDENGKAN PERINTAH
MENTAUHIDKANNYA dengan PERINTAH BIRRUL WALIDAYN! Maka alangkah besarnya
perintah ini! Alangkah besarnya pahala serta keutamaan dalam
mengamalkannya!
3. Yang menjadi point penting untuk dibahas yaitu dalam ayat ini
Allah mengatakan ‘ kibara’, kibar atau kibarussin arti berusia lanjut,
sedangkan ‘ indaka’ berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yg
menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua,
lemah dan tdk berdaya. Maka dalam ayat ini, mengandung pesan bahwa
hendaknya ketika orang tua itu berumur lanjut, wajib bagi sang anak
untuk MENGURUSNYA.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir menjelaskan tentang lebih ditekankan beruntuk baik pada kedua orang tua pada usia lanjut krn:
Pertama, Keadaaan usia lanjut ialah keadaan dimana kedua membutuhkan
perlakuan yg lebih baik krn keadaan pada saat itu sangat lemah.
Kedua, Semakin tua usia orang tua berarti semakin lama orang tua
bersama anak. Hal ini dpt menyebabkan ‘Si Anak’ merasa berat sehingga
dikhawatirkan akan berkurang beruntuk baiknya, krn segala sesuatu
diurusi oleh anak dan keluarlah perkataan ‘ah’ atau membentak atau dgn
ucapan, “ Orang tua ini menyusahkan”, atau yg lain.
Apalagi apabila orang tua sudah pikun, yang mana anak akan mudah
marah dalam kondisi seperti ini atau malah benci kpdnya. Oleh krn itu
Allah Subhanahu wa Ta ’ala berwasiat agar manusia selalu ingat kepada
jasa-jasa orang tua, dan memerintahkan mereka untuk berbakti kpd kedua
orang tuanya.
Dan telah ada sabda yang tegas dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa
sallam tentang masalah ini, yang mana BELIAU serta MALAIKAT JIBRIL
mendoakan kecelakaan bagi mereka yang tidak berbakti atau bahkan durhaka
kepada orang tuanya (ketika mendapati keduanya atau salahsatunya)!
Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا أطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ،
وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ،
“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu
adalah shadaqah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
anakmu, maka itu adalah shadaqah bagimu, dan apa yang engkau berikan
untuk memberi makan ORANG TUAmu, maka itu adalah shadaqah bagimu. Dan
apa yang engkau berikan untuk memberi makan isterimu, maka itu adalah
shadaqa bagimu…”
[HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739]
Rasulullah bersabda:
وَمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ ، أَوْ أَحَدَهُمَا ، فَلَمْ يَبَرَّهُمَا ،
فَمَاتَ ، فَدَخَلَ النَّارَ ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ ، قُلْ : آمِينَ ،
فَقُلْتُ : آمِينَ
(Malaikat Jibril ‘alayhis salaam berkata) ‘Celaka seseorang yang
mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih
hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’
maka kukatakan, ‘Amin”.
[HR Bukhaariy (dalam adabul mufrad), Ibnu Hibbaan, Haakim dan
selainnya; dishahiihkan imam haakim, disepakati imam adz-dzahabiy;
dishahiikan juga oleh Syekh al Albaaniy dalam shahiih adabul mufrad]
Maka kita memohon kepada Allah agar diberi taufiq untuk berbakti
kepada kedua orang tua kita, serta kita berlindung kepadaNya dari
durhaka kepada kedua orang tua! aamiin.
3. Membayar zakat fithri, apabila mampu
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat
fithri sebanyak satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum. Kewajiban itu
dikenakan kepada budak, orang merdeka, lelaki wanita, anak kecil, dan
orang tua dari kalangan umat Islam. Dan beliau memerintahkan agar zakat
fithri itu ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (‘Id)”
[HR Bukhari, no. 1503; Muslim, no. 984]
Sedangkan syarat kemampuan, karena Allah Azza wa Jalla tidaklah
membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”
[al Baqarah/2:286].
Ukuran kemampuan, menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syaifi’iyyah, dan
Hanabilah) ialah, seseorang memiliki kelebihan makanan pokok bagi
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, nafkah untuk satu
malam ‘Id dan siangnya. Karena orang yang demikian ini telah memiliki
kecukupan, sebagaimana hadits berikut:
Dari Sahl Ibnul Hanzhaliyyah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّار
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki apa yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia memperbanyak dari api neraka,”
–an Nufaili mengatakan di tempat yang lain
مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ
“(memperbanyak) dari bara Jahannam”-
Maka para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang
mencukupinya?” –an Nufaili mengatakan di tempat yang lain “Apakah
kecukupan yang dengan itu tidak pantas meminta-minta?”
Beliau bersabda,
قَدْرُ مَا يُغَدِّيهِ وَيُعَشِّيهِ
“Seukuran yang mencukupinya waktu pagi dan waktu sore,”
-an Nufaili mengatakan di tempat yang lain:
أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Dia memiliki (makanan) yang mengenyangkan sehari dan semalam” atau “semalam dan sehari”.
[HR Abu Dawud, no. 1629. dishahihkan oleh Syaikh al Albani]
4. Melunasi hutang
Barangsiapa memiliki hutang, maka hendaklah dia SEGERA membayar hak
orang-orang yang wajib dia tunaikan. Dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah dalam hal tersebut sebelum maut menjemputnya dengan tiba-tiba,
sementara dia masih tergantung pada hutangnya.
Barangsiapa yang sudah mampu membayar hutang maka diharamkan baginya
menunda-nunda hutang yang wajib dia lunasi jika sudah jatuh tempo. Hal
itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau bersabda.
مطل الغني ظلم و اذا أتبع أحد كم على مليء فليتبع
“Penundaan pembayaran hutang oleh orang-orang yang mampu adalah suatu
kezhaliman. Dan jika salah seorang diantara kalian diikutkan kepada
orang yang mampu, maka hendaklah dia mengikutinya”
[muttafaqun 'alayh]
Keutamaan orang yang terbebas dari hutang
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari
tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia
akan masuk surga.”
(HR. Ibnu Majah no. 2412. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Ancaman bagi yang ENGGAN melunasi hutang
Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka
dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.”
(HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih; dari muslim.or.id)
Ancaman bagi yang mati dalam keadaan masih berhutang
Dari ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni, kecuali hutang.”
(HR. Muslim no. 1886)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
(HR. Tirmidzi no. 1078. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaiman Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar
atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya
(di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar
dan dirham.”
(HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)
5. Membayar zakat mal, apabila telah mencapai nishab
Salah satu rukun Islam yang harus diamalkan seorang muslim, ialah
menunaikan zakat. Keyakinan ini didasari perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Al Quran dan Sunnah. Bahkan hal ini sudah menjadi konsensus
(ijma’) yang tidak boleh dilanggar.
Adapun dalil dari Al Qur’an, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka”. [At Taubah :103].
Dan firmanNya:
وَأَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ
“Dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. [Al Baqarah:110].
Kemudian dalil dari Sunnah, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata,
“Sesungguhnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, (beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam) berkata,
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ
فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab.
Karena itu, jika engkau menjumpai mereka, serulah mereka kepada
syahadat, tidak ada yang berhak disembah dengan haq, kecuali Allah dan
Muhammad adalah utusan Allah.
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ
فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Jika mereka mentaati engkau dalam hal itu, maka ajarilah mereka,
bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari-
semalam.
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ
فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ
عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka ajarilah
mereka, bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah atas harta
mereka (yaitu zakat), yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan
dibagi-bagikan kepada para faqir miskin dari mereka.
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ
أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Jika mereka telah mentaatimu dalam hal tersebut, maka berhati-hatilah
terhadap harta-harta kesayangan mereka dan bertaqwalah dari doa-doa
orang yang dizhalimi, karena tidak ada penghalang darinya dengan Allah”.
[HR Bukhariy, Muslim dan selainnya]
Sedangkan dalil dari ijma’, kaum muslimin telah bersepakat atas
kewajibannya, sebagaimana telah dinukilkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu
Rusyd.
Dan diantara syarat dalam menunaikan zakat mal ini adalah Berakal, Islam, Baligh, Merdeka, dan telah mencapai nishab.
Makna nishab disini, ialah ukuran atau batas terendah yang telah
ditetapkan oleh syar’i (agama) untuk menjadi pedoman menentukan batas
kewajiban mengeluarkan zakat bagi yang memilikinya, jika telah sampai
pada ukuran tersebut
[Lihat Syarh Al Mumti’ ‘Ala Zaad Al Mustaqni’, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin 6/20]
Orang yang memiliki harta dan telah mencapai nishab atau lebih,
diwajibkan mengeluarkan zakat dengan dasar firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
وَيَسْئَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلأَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
“Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya
kepadamu supaya kamu berfikir”.
[Al Baqarah:219].
Makna al afwu adalah harta yang telah melebihi kebutuhan. Oleh karena
itu, Islam menetapkan nishab sebagai ukuran kekayaan seseorang.
[Lihat Al Zakat Wa Tanmiyat Al Mujtama’, karya Al Sayyid Ahmad Al Makhzanji, hal. 119]
Adapun syarat-syarat nishab ialah sebagai berikut:
1. Harta tersebut diluar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
seseorang, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan
alat yang dipergunakan untuk mata pencaharian.
2. Harta yang akan dizakati telah berjalan selama satu tahun (haul) terhitung dari hari kepemilikan nishab
[Lihat Fiqh As Sunnah, karya Sayyid Sabiq 1/467]
Dengan dalil hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ زَكَاةَ فِيْ مَالٍ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Tidak ada zakat atas harta, kecuali yang telah melampaui satu haul (satu tahun)”
[HR Tirmidziy, Ibnu Maajah, Abu Dawud, ad Daraquthniy; dihasankan syekh al albaaniy dalam al irwa]
Dikecualikan dari hal ini, yaitu zakat pertanian dan buah-buahan.
Karena zakat pertanian dan buah-buahan diambil ketika panen. Demikian
juga zakat harta karun, yang diambil ketika menemukannya.
Keutamaan bagi mereka yang membayar zakat
- Membersihkan serta mensucikan harta
Allah Ta’ala berfirman,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
yang artinya:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(QS. At-Taubah: 103)
- Mendatangkan kemakmuran negeri
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا
“Dan tidaklah mereka meninggalkan kewajiban (membayar) zakat harta
benda mereka melainkan hujan tidak akan diturunkan kepada mereka. kalau
sekiranya bukan karena binatang ternak, niscaya mereka tidak akan diberi
hujan (yakni mereka ditimpa kekeringan, pent).”
(HR. Ibnu Majah II/1332 no.4019, dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no.105;- Memasukkan ke surga
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
yang artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.
mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah: 71)
Diantara ancaman bagi mereka yang tidak mau membayar zakat
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya di jalan Allâh [yaitu tidak membayar zakat], maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang
pedih.
يَوْمَ يُحْمَىٰ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya…
هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
(lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa
yang kamu simpan itu”.
(Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap orang yang mencintai sesuatu dan lebih
mendahulukannya dibanding ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa
dengannya.
Dan dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka
untuk menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka
mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya.
Sebagaimana halnya Abu Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak
henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam, maka
kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa
dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut,
dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin
terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia
paling ia cintai.
Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. Harta kekayaan yang
sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal yang paling
menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu akan
dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung
mereka”.
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki,
padahal hak Allâh (zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya
saja, ialah karena zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh
harta dan tidak dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan
zakatnya adalah harta yang tidak suci”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ ، لَهُ زَبِيبَتَانِ ، يُطَوَّقُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ – يَعْنِى
شِدْقَيْهِ – ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ ، أَنَا كَنْزُكَ
“Barang siapa yang diberi oleh Allah harta kemudian ia tidak membayar
zakatnya, maka akan dijelmakan harta itu pada hari kiamat dalam bentuk
ular yang kedua kelopak matanya menonjol. Ular itu melilitnya kemudian
menggigit dengan dua rahangnya sambil berkata: “Aku adalah hartamu, aku
adalah simpananmu”.
Lalu beliau membacakan firman Allah Ta’ala,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن
فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَّهُم ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ
مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
yang artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan
harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di
lehernya di hari kiamat”. (QS. Ali ‘Imron: 180).
(HR. Bukhari II/508 no.1338; 6. Menunaikan haji ketika telah harta telah mencukupi, dan sehat fisiknya
Allah berfirman:
لِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah,
yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Dan
barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
[Aali 'Imran : 97]
Ayat ini sebagai dalil wajibnya haji untuk dilaksanakan dengan
segera, sebab perintah mempunyai pengertian harus segera dilaksanakan.
Bahkan Imam Ahmad dan ashabus sunan meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Bersegeralah berhaji -yakni haji yang wajib-, sebab
sesungguhnya seseorang tidak mengetahui apa yang akan menimpa kepadanya”
[Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya]
Dan dalil dari wajibnya haji juga berdasarkan hadits riwayat dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasalam berasabda:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا
“Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian berhaji maka berhajilah”
kemudian ada seorang bertanya: “Apakah setiap tahun Wahai Rasulullah?”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjawab sampai ditanya tiga kali, barulah setelah itu beliau menjawab:
لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku katakan: “Iya”, maka niscya akan diwajibkan setiap tahun belum tentu kalian sanggup!
ذَرُونِى مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
maka biarkanlah apa yang sudah aku tinggalkan untuk kalian! karena
sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian, akibat banyaknya
pertanyaan dan penyelisihan mereka terhadap nabi mereka!
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ
maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu, kerjakanlah darinya
sesuai dengan kemampuan kalian dan jika aku telah melarang kalian akan
sesuatu maka tinggalkanlah”.
(HR. Muslim)
Imam Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban haji tidak harus segera
dilakukan. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan haji
hingga tahun ke 13H.
Namun pendapat Imam Syafi’i ini dijawab, bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengakhirkan haji melainkan hanya dalam satu
tahun karena beliau ingin membersihkan Baitullah dari orang-orang
musyrik dan hajinya orang-orang yang telanjang serta dari segala bentuk
bid’ah. Maka ketika Baitullah telah suci dari hal-hal tersebut Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan haji pada tahun berikutnya.
Atas dasar ini, maka haji HARUS SEGERA DILAKUKAN karena takut ajal
tiba sehingga orang yang telah wajib haji dan tidak segera melaksanakan
termasuk orang-orang yang ceroboh karena menunda-nunda kewajiban yang
telah mampu dilakukan.
‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ
“Barangsiapa yang menginginkan untuk pergi haji maka bersegeralah”.
(HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 6004)
Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَعْجَّلُوا إِلَى الْحَجِّ – يَعْنِى الْفَرِيضَةَ – فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى مَا يَعْرِضُ لَهُ
“Bersegeralah menunaikan haji yaitu yang wajib, karena sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang akan menghadang baginya”.
(HR. Ahmad dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Irwa Al Ghalil, 990)
Abdullah bin Abbas meriwayatkan dari Al Fadhl – atau sebaliknya-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ ».
“Barangsiapa yang ingin pergi haji maka hendaklah ia bersegera,
karena sesungguhnya kadang datang penyakit, atau kadang hilang hewan
tunggangan atau terkadang ada keperluan lain (mendesak)”.
(HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al jami’, no. 6004)
Keutamaan bagi yang melaksanakan haji (kemudian mendapatkan haji mabrur)
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
اَلْغَازِي فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ، وَفْدُ اللهِ، دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ. وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ.
“Orang yang berperang di jalan Allah dan orang yang menunaikan haji
dan umrah, adalah delegasi Allah. (ketika) Allah menyeru mereka, maka
mereka memenuhi panggilan-Nya. Dan (ketika) mereka meminta kepada-Nya,
maka Allah mengabulkan (pemintaan mereka).”
[Hasan: Sunan Ibni Majah (II/966, no. 2893); lihat Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 2339); dari almanhaj]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَجَّ ِللهِ عزوجل فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ
‘Barangsiapa melakukan haji (ikhlash) karena Allah Azza wa Jalla tanpa berbuat keji dan kefasiqan
غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Dalam riwayat lain:
رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
maka ia kembali tanpa dosa sebagaimana waktu ia dilahirkan oleh ibunya.’”
[Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (III/382, no. 1521), Shahiih
Muslim (II/983, no. 1350), Sunan Ibni Majah (II/964, no. 2889), Sunan
an-Nasa-i (V/114), Sunan at-Titmidzi (II/153, no. 809); dari almanhaj]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Umrah ke umrah adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur tidak ada pahala baginya selain Surga.”
[ Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/597, no. 1773), Shahiih
Muslim (II/987, no. 1349), Sunan at-Tirmidzi (II/206, no. 937), Sunan
Ibni Majah (II/964, no. 2888), Sunan an-Nasa-i (V/115); dari almanhaj]
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَابِعُوْا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ
الْفَقْرَ وَالذُّنُوْبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ
وَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُوْرَةِ ثَوَابٌ
إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Iringilah antara ibadah haji dan umrah karena keduanya meniadakan
dosa dan kefakiran, sebagaimana alat peniup api menghilangkan kotoran
(karat) besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan bagi haji mabrur
melainkan Surga.”
[Shahih: Sunan at-Tirmidzi (II/153, no. 807), Sunan an-Nasa-i (V/115); lihat Shahiihul Jaami’ (no. 2901)]
Ancaman bagi yang tidak berhaji padahal mampu
Abu Sa’id AL Khudry radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ عَبْدًا أَصْحَحْتُ لَهُ جِسْمَهُ ، وَأَوْسَعْتُ عَلَيْهِ فِي
الْمَعِيشَةِ تَمْضِي عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لاَ يَفِدُ إِلَيَّ
لَمَحْرُومٌ.
“Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang hamba telah Aku sehatkan
badannya, Aku luaskan rezekinya, tetapi berlalu dari lima tahun dan dia
tidak menghandiri undangan-Ku, maka sungguh dia orang yang benar-benar
telarang (dari kebaikan)”.
(HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash Shahihah, no. 1662)
Abdurrahman bin Ghunm pernah mendengar Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
من أطاق الحج فلم يحج، فسواء عليه يهوديّاً مات أو نصرانيّاً
“Barangsiapa yang mampu melaksanakan haji lalu belum berhaji, maka
sama saja atasnya, baik mati dalam keadaan yahudi atau nashrani”.
(HR. Abu Nu’aim di dalam kitab Al Hilyah. Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan: “Sanad riwayat ini shahih sampai kepada Umar”. Lihat tafsir
Ibnu Katsir)
7. Membayar pekerja/pembantu
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berilah upah kepada para pegawai sebelum kering keringatnya”.
[Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (2443) dan ada
hadits-hadits lain yang menguatkannya, yaitu hadits Abu Hurairah dan
Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu; dari almanhaj]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah
mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan baginya surga*”
maka salah seorang bertanya,”Meskipun sedikit, wahai Rasulullah?”
Rasulullah menjawab,
وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Ya, meskipun hanya setangkai kayu sugi (siwak).”
[HR Muslim]
*Maksudnya ia diancam masuk neraka terlebih dahulu, dan bukan
termasuk orang-orang yang masuk surga pada pertama kali; sebagaimana
ditafsirkan oleh para ulamaa’
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“…dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah shadaqah bagimu.”
[HR Ibnu Majah, 2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah, 1739]
8. Berjihad dengan harta (khususnya
penduduk yang diserang atau ingin menyerang kuffaar; demikian pula negri
muslim yang berada disekitarnya)
Islam telah mewajibkan ummatnya untuk berjihad dengan harta dan jiwa
sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Quran (QS. 9:41, 49:51, 61:11,
dll).
Maka tidak diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah
kewajiban lain di luar zakat. Di antara hak pemerintah (ulil amri) dari
kaum Muslimin adalah menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul
beban jihad dengan harta ini.
Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal
mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan untuk
memerangi Tatar, seraya berkata:
“Apabila musuh memasuki Negeri Islam, maka wajib bagi kaum muslimin
menahan serangan mereka, dan diperbolehkan bagi kalian (para penguasa)
mengambil dari rakyat apa yang dapat menolong kalian dalam berjihad
melawan mereka, namun dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam
baitul mal…
dan hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual
(menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara
dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka itu
diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya.
Adapun memungut harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta
benda dan peralatan berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.”
(An-Nujum Az-Zahirah fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri VII/73
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ أَنْفَقَ نَفَقَةً فِى سَبِيلِ اللَّهِ كُتِبَتْ لَهُ بِسَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
“Barangsiapa menginfakkan hartanya di jalan Allah maka di tetapkan pahala baginya 700 kali lipat“
(HR. Tirmidzi : 6/363 dengan sanad hasan; dari muslim.or.id)
Juga dalam hadist yang lainnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda :
مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَهُ فِى أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
“Barangsiapa menyiapkan bekal bagi seorang mujahid di jalan Allah
sungguh ia telah berjihad dan barangsiapa menjaga keluarga yang
ditinggalkan seorang mujahid maka sungguh ia telah berjihad”
(HR.Muslim : 12/425; dari muslim.or.id)
Diantara shadaqah yang sunnah
Membantu kaum muslimin yang sedang berjihad
Dan yang dimaksud dengan membantu jihad disini, yaitu membantu kaum
muslimin yang sedang berperang (baik itu membela diri atau menyerang)
khusus kepada kaum muslimin yang berada dikejauhan, dalam rangka
membantu kaum muslimin yang sedang diperangi atau yang mempersiapkan
peperangan. Adapun kaum muslimin yang berada pada daerah yang sedang
diserang atau yang ingin menyerang (bersama penguasa), maka wajib bagi
mereka berjihad dengan jiwa, sebagaimana wajib mereka berjihad dengan
harta mereka. Lihat keutamaannya pada hadits-hadits diatas yang telah
dinukil.
ataupun bisa juga bermakna membantu (untuk menguatkan atau
mengembangkan) dakwah tauhid dan sunnah; karena berdakwah, termasuk
jihad, bahkan dikatakan Allah, jihad yang besar. Sebagaimana firmanNya:
وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.
(Al-Furqaan: 52)
Yaitu maksudnya berjihad dengan mendakwahkan tauhid dan sunnah.
Membantu kaum muslimin/seorang muslim yang sedang dalam kesulitan
Baik itu karena berhijrah (yang ia meninggalkan seluruh hartanya di
negeri kafir kepada negeri muslim), atau mereka yang menderita sakit,
atau kesulitan hidup karena tiada biaya (terutama mereka yang menjaga
diri mereka dari meminta-minta), atau karena tunggakan hutang (terutama
mereka yang senantiasa membayar hutang, tapi mendapatkan kesulitan),
atau semisalnya..
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ
يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ
حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ
بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan
beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada
mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh
terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan
saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang
berada dalam kesulitan. Dan barang siapa yang dijaga dari rasa bakhil
dalam jiwanya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al Hasyr [59] : 9)
Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang melapangkan suatu kesusahan seorang mukmin di
dunia, niscaya Allah akan melonggarkan satu kesusahannya di akhirat.
وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang ditimpa kesulitan
(hutang), niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ
…Dan Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia juga menolong saudaranya.”
(Riwayat Muslim)
Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي ظِلِّهِ
“Barangsiapa mempermudah orang yang kesulitan (hutang) atau
membebaskan (hutang)nya, Allah Tabaroka Wa Ta’ala akan menaunginya
dengan naungan-Nya.”
Mu’awiyah berkata; pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.
(HR. Ahmad)
Menafkahi penuntut ilmu
Sungguh ini amalan yang sangat mulia bagi para pemilik harta…
Bagaimana tidak? ia akan kecipratan pahala orang-orang yang dibiayainya
menuntut ilmu tersebut!
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala
sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala
mereka sedikitpun.
Bayangkan saja… Setiap orang yang mengenal tauhid dan sunnah melalui
da’i tersebut, maka ia pun turut kecipratan mendapatkan pahala; karena
ia memiliki andil dalam “menyekolahkan” si da’i ini sehingga ia menjadi
da’i!
Jika kita sudah tahu betapa besar keutamaan ini… Maka mengapa kita
tidak menginvestasikan sebagian harta kita untuk itu?! Bahkan harta kita
akan ber-barakah, atau bahkan kita akan mendapatkan rizki selama kita
menafkahinya!
Anas bin Malik berkata: Di masa Rasulullah ada dua orang bersaudara,
salah satu dari keduanya kerjanya cuma mendatangi Rasulullah untuk
menuntut ilmu, sedangkan yang satunya lagi, bekerja utuk menafkahi
saudaranya. Yang mencari nafkah mengeluhkan saudaranya kepada
Rasulullah, dan Rasulullah bersabda kepadanya:
لعلك ترزق به
“Bisa jadi engkau mendapatkan rezki karena menafkahinya”
[Sunan Tirmidzi: Sahih]
Memberi makan orang yang berbuka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Orang yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang
berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun
mengurangi pahalanya.”
(HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)
Atau shadaqah-shadaqah lainnya
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda :
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya diantara yang akan menyertai seorang mukmin dari amal dan kebaikannya setelah matinya adalah…
وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا
لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً
أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ
بَعْدِ مَوْتِهِ
…mushaf yang diwariskan, atau masjid yang dibangunnya, atau rumah
untuk orang-orang musafir yang dibangunnya, atau sungai yang
dialirkannya, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya pada waktu
sehat dan semasa hidupnya. semuanya akan menyusulnya setelah
kematiannya.
(Hasan; HR Ibnu majah, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albaniy dalam Shahiih Ibni Majah)
Shadaqah tidak mesti dengan harta
Dahulu, ada pepatah yang sering diucapkan: “tidak berhak dilahirkan orang yang hidup hanya untuk kepentingan dirinya sendiri”
Tentunya seorang mukmin tidak bisa hidup tanpa kerabat dekat
(famili/keluarga), para tetangga, dan teman sejawat, dan tentu disana
ada orang yang kaya dan yang muskin, yang kuat dan yang lemah, yang
berkecukupan dan yang kekurangan.
Seorang mukmin akan selalu berpacu memberikan shadaqah kepada setiap
orang yang membutuhkannya, baik yang dekat maupun yang jauh, yang
dikenal maupun yang tidak dikenalnya.
Shadaqah yang kita berikan tidak terbatas, baik kecil atau besar,
karena maksud dari shadaqah adalah memberi bantuan (baik itu tenaga,
usaha, harta, pikiran atau selainnya) kepada orang yang membutuhkan dan
mengeluarkan diri dari sikap pelit.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian
dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat
sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan
mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqah?
إِنَّهُ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَبِكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ
وَبِكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَبِكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ
Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh,
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ
menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh “
Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا
وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram,
dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang
halal, ia mendapat pahala”.
(HR. Muslim no. 2376)
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَى كُلِّ نَفْسٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ صَدَقَةٌ مِنْهُ عَلَى نَفْسِهِ
“Setiap hari dimana matahari terbit setiap jiwa harus disedekahi.”
Aku bertanya,
“Wahai Rasulullah, dari mana aku bersedekah padahal aku tidak memiliki harta?”
Beliau bersabda:
لِأَنَّ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَةِ التَّكْبِيرَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
“Sungguh di antara pintu sedekah adalah mengucapkan takbir, tasbih, tahmid, tahlil, dan istighfar.
وَتَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ
Menyuruh pada kebaikan, mencegah perbuatan mungkar
وَتَعْزِلُ الشَّوْكَةَ عَنْ طَرِيقِ النَّاسِ وَالْعَظْمَ وَالْحَجَرَ
Menyingkirkan duri, tulang dan batu dari jalan yang dilalui manusia,
وَتَهْدِي الْأَعْمَى
Menunjuki jalan orang yang buta
وَتُسْمِعُ الْأَصَمَّ وَالْأَبْكَمَ حَتَّى يَفْقَهَ
Memperdengarkan orang yang tuli dan bisu hingga ia menjadi faham,
وَتُدِلُّ الْمُسْتَدِلَّ عَلَى حَاجَةٍ لَهُ قَدْ عَلِمْتَ مَكَانَهَا
Menunjuki orang yang tersesat karena suatu keperluan yang engkau mengetahui tempatnya,
وَتَسْعَى بِشِدَّةِ سَاقَيْكَ إِلَى اللَّهْفَانِ الْمُسْتَغِيثِ
Memberi minum orang yang kehausan,
وَتَرْفَعُ بِشِدَّةِ ذِرَاعَيْكَ مَعَ الضَّعِيفِ
dan membantu mengangkat beban orang yang lemah.
كُلُّ ذَلِكَ مِنْ أَبْوَابِ الصَّدَقَةِ مِنْكَ عَلَى نَفْسِكَ
Maka semua itu adalah pintu-pintu sedekah, dari kamu dan untuk kamu.”
(Rasulullah melanjutkan)
وَلَكَ فِي جِمَاعِكَ زَوْجَتَكَ أَجْرٌ
bahkan persetubuhanmu terhadap isterimu adalah berpahala.”
Abu Dzar bertanya, “Bagaimana bisa aku mendapat pahala dari syahwatku?”
Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ وَلَدٌ فَأَدْرَكَ وَرَجَوْتَ خَيْرَهُ فَمَاتَ أَكُنْتَ تَحْتَسِبُ بِهِ
“Bagaimana menurutmu jika kamu mempunyai seorang anak, ia telah
sampai pada umur baligh dan engaku mengharap kebaikannya, apakah engkau
akan mengharap pahala jika ia meninggal?”
Aku menjawab, “Ya.”
Beliau melanjutkan:
فَأَنْتَ خَلَقْتَهُ قَالَ بَلْ اللَّهُ خَلَقَهُ قَالَ فَأَنْتَ
هَدَيْتَهُ قَالَ بَلْ اللَّهُ هَدَاهُ قَالَ فَأَنْتَ تَرْزُقُهُ قَالَ
بَلْ اللَّهُ كَانَ يَرْزُقُهُ
“Engkaulah yang membuatnya, bahkan Allah-lah yang menciptanya; engkau
menunjukinya (kepada kebenaran), padahal Allah-lah yang memberinya
petunjuk; engkau memberinya makan, padahal Allah-lah yang memberinya
rezeki.
كَذَلِكَ فَضَعْهُ فِي حَلَالِهِ وَجَنِّبْهُ حَرَامَهُ فَإِنْ شَاءَ اللَّهُ أَحْيَاهُ وَإِنْ شَاءَ أَمَاتَهُ وَلَكَ أَجْرٌ
demikian juga bila engkau meletakkannya pada yang halal dan
menjauhkan ia dari yang haram, bila Allah berkehendak maka Allah
hidupkan, dan bila Allah berkehendak maka Allah akan matikan, dan engkau
mendapat pahala.”
(HR. Ahmad, diSHAHIIHkan syaikh Al albaaniy dalam as-silsilah ash-shahiihah dan shahiihul jaami’)
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
أَنَّهُ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ
تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ
بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ
مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنْ الضُّحَى
“Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya,
setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap
tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma’ruf nahyi
mungkar sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat dhuha.”
(HR. Muslim)
dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah melihat seorang laki laki sedang mengerjakan shalat
sendirian, maka beliau bersabda:
أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
“Adakah seseorang yang mau bersedekah kepada orang ini dengan mengerjakan shalat bersamanya?”
(HR Abu Dawud, dan selainnya; shahiih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ
رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا
فَسَقَتْهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ
“Tatkala ada seekor anjing yang hampir mati karena kehausan
berputar-putar mengelilingi sebuah sumur yang berisi air, tiba-tiba
anjing tersebut dilihat oleh seorang WANITA PEZINA dari kaum bani
Israil, maka wanita tersebut melepaskan khufnya (sepatunya untuk turun
ke sumur dan mengisi air ke sepatu tersebut-pen) lalu memberi minum
kepada si anjing tersebut. Maka Allah pun mengampuni wanita tersebut
karena amalannya itu” ‘
(HR Al-Bukhari no 3467 dan Muslim no 2245; dari artikel ustadz firanda)
Perhatikanlah, bagaimana shadaqah yang jumlahnya sedikit telah
menjadikan rahmat dan maghfirah (ampunan) Allah tercurah kepada wanita
tunasusila tersebut!!
Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ
فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ
يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ
“Tatakala seseorang sedang menyusuri sebuah jalan dalam keadaan haus
yang sangat amat, maka iapun mendapati sebuah sumur. Iapun turun ke
dalam sumur tersebut lalu minum, lalu keluar dari sumur tersebut.
Tiba-tiba ia melihat seekor anjing sedang menjilat-jilat tanah karena
kehausan.
فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ
الَّذِى كَانَ بَلَغَ مِنِّى. فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ مَاءً
ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ حَتَّى رَقِىَ فَسَقَى الْكَلْبَ
Maka iapun berkata : Anjing yang sangat kehuasan sebagaimana haus
yang aku rasakan. Maka iapun turun ke dalam sumur lalu mengisi sepatunya
dengan air kemudian ia memegang sepatu dengan mulutnya hingga akhirnya
ia memanjat dinding sumur lalu iapun memberi minum anjing tersebut.
فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ
Maka Allahpun membalas jasanya dan mengampuni dosa-dosanya”
(Muslim no 2244)
Dalam lafazh yang lain
فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ
“Maka Allahpun membalas jasanya lalu memasukannya ke dalam surga”
(HR Al-Bukhari no 173)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ وَجَدَ غُصْنَ شَوْكٍ عَلَى الطَّرِيقِ فَأَخَّرَهُ ، فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ
“Tatkala ada seseorang berjalan di sebuah jalan maka ia mendapati
dahan berduri di tengah jalan, maka iapun manjauhkan dahan tersebut maka
Allahpun membalasnya dan memaafkan dosa-dosanya”
(HR Al-Bukhari no 652 dan Muslim no 1914)
Bahkan kalimat thayyibah (kata-kata yang baik) yang keluar dari mulut
Anda akan dicatat disisi Allah sebagai rangkaian shadaqah yang anda
telah lakukan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya:
“Jauhilah api neraka meskipun hanya (bershadaqah) dengan separoh
kurma. Jika kamu tidak menemukannya, maka (cukup) dengan kata-kata yang
baik.”
[HR. Bukhari (6023), Muslim (7/101), Ahmad, (4/256), Nasa'i (5/75), Darimi (1390), Baihaqi (1/390) dalam kitabnya sunan kubra]
Semua ini mengajak kita untuk menjadi orang yang dermawan. Maka
janganlah Anda pelit terhadap orang lain, meskipun hanya dengan memberi
sepotong pakaian, sesuap makanan, seteguk minuman; atau bahkan sampai
pelit untuk berkata-kata baik.
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقْ
“Janganlah engkau menyepelekan kebaikan sedikitpun (–apalagi sampai
pelit–), meskipun hanya senyuman tatkala bertemu dengan saudaramu”
(HR Muslim no 2626)
Teladan salafush shalih dalam shadaqah
Diantara contoh indah yang diteladankan orang-orang terdahulu kepada
kita dalam berinfak adalah seperti tertulis dalam kisah berikut:
Abu Bakar dan ‘Umar yang saling berlomba-lomba dalam sedekah
‘Umar bin Al Khathab radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan Kami agar bersedekah, dan hal
tersebut bertepatan dengan keberadaan harta yang aku miliki.
Lalu aku mengatakan; “apabila aku dapat mendahului Abu Bakr pada suatu hari maka hari ini aku akan mendahuluinya…”
Kemudian aku datang dengan membawa SETENGAH HARTAKU, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ
“Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?”
Aku katakan;
“Harta yang sama seperti itu.”
(‘Umar melanjutkan)
Kemudian Abu Bakar datang dengan membawa SELURUH HARTA YANG IA MILIKI. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَبْقَيْتَ لِأَهْلِكَ
“Apakah yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?”
Ia berkata;
“Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya
Maka aku katakan;
“Aku tidak akan dapat mendahuluimu dari sesuatu apapun selamanya.”
(HR Abu Dawud, Tirmdiziy dan selainnya; dengan sanad yang hasan)
‘Utsman bin Affaan yang membeli surga dengan hartanya
Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhu berkata kepada para Khawarij yang mengepung rumah beliau:
“Aku sumpah kalian dengan nama Allah dan Islam! Tahukah kalian bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tiba di Madinah dan di Madinah
tidak ada sumur yang berair tawar selain sumur Rumah. Beliau bersabda:
مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ
“Siapa yang mau membeli sumur Rumah kemudian ia menjadikan timbanya
bersama timba kaum muslimin (ia wakafkan, pen) dengan baik maka ia akan
mendapat bagiannya di surga”
Maka aku (Utsman) membelinya dengan uangku sendiri dan kalian
(Khawarij) hari ini menghalangiku untuk meminum airnya sehingga aku
minum air laut.”
(HR. At-Tirmidzi: 3636 dan di-hasan-kan olehnya, An-Nasa’i: 3551,
Ahmad: 524 dan di-hasan-kan oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahih Sunan
At-Tirmidzi: 2921).
Ibrahim Al-Harbi berkata:
واشترى بئر رومة بعشرين ألف درهم
“Utsman membeli sumur Rumah (tersebut) seharga 20.000 dirham.”
(Tarikh Damsyiq: 39/20, Tahdzibul Asma’ wal Lughat: 454).
Abdurrahman bin Samurah radhiyallaahu ‘anhu berkata:
“Ketika perang Tabuk, Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhu datang
kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam. Di lengan bajunya terdapat
uang 1.000 dinar. Kemudian ia menuangkannya di pangkuan Nabi r dan
berpaling (pulang).” Abdurrahman berkata: “Maka aku melihat Rasulullah r
menerima uang tersebut di pangkuan beliau dengan tangan beliau sendiri
dan berkata:
ما ضر عثمان ما فعل بعدها أبدا
“Tidak akan berbahaya apa yang dilakukan oleh Utsman setelah ini.”
[HR. Al-Ajurri dalam Asy-Syariah: 1371 (4/55) dan ini adalah
redaksinya, At-Tirmidzi: 3634 dan ia berkata: “Hadits hasan gharib.”
Di-shahih-kan oleh Al-Hakim dalam Mustadraknya: 4553 (3/110) dan
disepakati oleh Adz-Dzahabi]
Abdurrahmaan ibn ‘Auf yang senantiasa bersedekah dalam hidupnya
Al-Imam Az-Zuhri berkata:
تصدق عبد الرحمن بن عوف على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم بشطر
ماله ثم تصدق بعد بأربعين ألف دينار ثم حمل على خمسمائة فرس في سبيل الله
وخمسمائة راحلة وكان أكثر ماله من التجارة
“Abdurrahman bin Auf mengeluarkan shadaqah pada masa Rasulullah r
dari setengah hartanya, kemudian beliau mengeluarkan shadaqah 40.000
dinar setelahnya, kemudian beliau mengeluarkan shadaqah 500 ekor kuda
dan 500 ekor unta di jalan Allah. Dan kebanyakan hartanya berasal dari
perdagangan.”
(Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah: 4/347; Ummu Bakar bintu Miswar berkata:
ان عبد الرحمن باع أرضا له من عثمان بأربعين ألف دينار، فقسمه في فقراء بني زهرة، وفي المهاجرين، وأمهات المؤمنين.
“Bahwa Abdurrahman bin Auf membeli sebidang tanah dari Utsman seharga
40.000 dinar. Kemudian beliau membagi-bagikan tanah tersebut untuk
orang-orang faqir dari Bani Zuhrah, kaum Muhajirin, dan istri-istri
Rasulullah r.”
(Siyar A’lamin Nubala’: 1/86)
Dari Abu Salmah bin Abdurrahman bin Auf bahwa Aisyah Ummul Mukminin t berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ
إِنَّ أَمْرَكُنَّ مِمَّا يُهِمُّنِي بَعْدِي وَلَنْ يَصْبِرَ عَلَيْكُنَّ
إِلَّا الصَّابِرُونَ قَالَ ثُمَّ تَقُولُ عَائِشَةُ فَسَقَى اللَّهُ
أَبَاكَ مِنْ سَلْسَبِيلِ الْجَنَّةِ تُرِيدُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
عَوْفٍ وَكَانَ قَدْ وَصَلَ أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِمَالٍ يُقَالُ بِيعَتْ بِأَرْبَعِينَ أَلْفًا
“Sesungguhnya Rasulullah r bersabda:
“Sesungguhnya urusan kalian (istri-istri Nabi) termasuk menjadi
perhatianku setelahku. Dan tidak akan bersabar mengurusi kalian kecuali
orang-orang yang bersabar.”
Kemudian Aisyah berkata: “Semoga Allah memberikan minuman untuk
ayahmu dari mata air Salsabil di surga, yakni Abdurrahman bin Auf. Ia
telah menyambung (baca: menyantuni, pen) istri-istri Nabi r dengan harta
yang dapat dijual senilai 40.000 dinar.”
(HR. At-Tirmidzi: 3682 dan di-shahih-kan olehnya dan di-hasan-kan
oleh Al-Allamah Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: 2948).
Thalhah bin Abdirrahman bin Auf berkata:
كان أهل المدينة عيالا على عبد الرحمن بن عوف: ثلث يقرضهم ماله، وثلث يقضي دينهم، ويصل ثلثا.
“Adalah penduduk Madinah menjadi tanggungan atas Abdurrahman bin Auf;
sepertiga dari mereka diberi pinjaman oleh Abdurrahman dari hartanya,
sepertiga dari mereka dibayarkan hutang mereka olehnya dan sepertiganya
disambung olehnya.”
(Siyar A’lamin Nubala’: 1/88).
Al-Imam Az-Zuhri berkata:
أوصى عبد الرحمن بن عوف لكل من شهد بدرا بأربعمائة دينار فكانوا مائة رجل
“Abdurrahman bin Auf pernah berwasiat untuk (untuk membagikan dari
hartanya sepeninggalnya, pen) kepada setiap orang yang ikut perang Badar
dengan 400 dinar. Mereka berjumlah 100 orang.”
(Al-Ishabah fi Tamyizish Shahabah: 4/349).
Thalhah bin ‘Ubaydillaah yang membiayai orang miskin dari Bani Tamim
Ibrahim At-Taimi berkata:
“Adalah Thalhah mendapatkan penghasilan di Iraq 400.000 (dinar),
mendapatkan penghasilan di Sarah 10.000 dinar atau kurang atau lebih, di
A’radl juga mendapatkan penghasilan. Dan beliau tidaklah meninggalkan
orang miskin dari Bani Taim pun kecuali beliau telah mencukupinya dan
membayarkan hutangnya. Dan beliau –ketika penghasilannya datang-
mengirimkan setiap tahun 10.000 (dinar) untuk Ibunda Aisyah. Dan beliau
telah membayarkan hutang Fulan At-Taimi 30.000 (dinar).”
(Siyar A’lamin Nubala’: 1/33)
Abu Thalhah al Anshariy yang menafkahkan harta yang paling dicintainya
Abu Thalhah Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, adalah orang Anshar di
Madinah yang tergolong paling banyak hartanya, dan harta yang paling
dicintainya adalah Bairuha (Nama tempat di Madinah, sejenis kebun), yang
letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah memasukinya dan pernah meminum airnya yang
segar. Setelah ayat berikut ini turun,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali
‘Imraan: 92)
Kemudian, Abu Thalhah pergi menuju tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam
Kalam-Nya, “Kamu belum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai,..”
(Ali ‘Imraan: 92) dan diantara harta saya yang saya cintai adalah
Bairuha, maka ia akan saya jadikan shadaqah bagi Allah Ta’ala. Saya
mengharapkan semoga ia akan menjadikan kebajikan dan amalan saya disisi
Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka, ia kuserahkan kepada engkau (yaa,
Rasulullah) dan terserah kepada siapa ia akan engkau berikan!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah
keberuntungan, itulah keberuntungan, itulah keberuntungan. Dan aku telah
mendengar apa yang telah engkau katakan. Itu lebih baik engkau
shadaqahkan kepada keluarga terdekat(mu)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Lalu, Bairuha dibagi-bagikan kepada kerabat dekat Abu Thalhah dan kepada
anak-anak pamannya.
Hakim bin Hizam, seorang yang dikenal dermawan semasa hidupnya
Hakim bin Hizam bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam:
“Wahai Rasulullah! Bagaimana menurutmu, perbuatanku yang aku lakukan
ketika masih jahiliyyah dengan niat ibadah yang berupa shadaqah,
memerdekakan budak, silaturrahim, apakah ada pahala untukku di
dalamnya?” Rasulullah menjawab:
أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ
“Kamu masuk Islam dengan membawa (pahala) kebaikan yang telah kamu lakukan pada masa lampau (jahiliyyah).”
(HR. Al-Bukhari: 1346, Muslim: 175 dan Ahmad: 14779).
Urwah bin Az-Zubair berkata:
“Bahwa ketika masih jahiliyyah Hakim bin Hizam t telah memerdekakan
100 budak dan menyedekahkan 100 unta. Ketika setelah masuk Islam, ia
masih menyedekahkan 100 unta dan memerdekakan 100 budak.”
(HR. Al-Bukhari: 2353, Muslim: 177).
Abu Hazim berkata:
ما بلغنا أنه كان بالمدينة أكثر حملا في سبيل الله من حكيم.
“Menurut berita yang sampai kepada kami, tidak ada seseorang yang
paling banyak shadaqahnya untuk jalan Allah selain Hakim bin Hizam.”
(Siyar A’lamin Nubala’: 3/50)
Wahai saudara seaqidahku, jika Anda memiliki sifat-sifat terpuji yang
telah disebutkan diatas, maka anda adalah seorang mukmin yang sejati
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Itulah orang-orang mukmin yang sebenar-benarnya. Mereka akan
memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan
serta rezeki (nikmat) yang mulia” (Al-Anfaal: 4)
Diantara keutamaan-keutamaan shadaqah
Karena shadaqah dan infaq merupakan solusi jitu, maka dalam risalah
ini perlu dibawakan beberapa dalil yang menunjukkan keutamaan dan
pentingnya shadaqah agar orang-orang yang memiliki kelebihan harta bisa
tergerak hatinya untuk bershadaqah dan berinfaq, entah kepada tetangga,
fakir-miskin, masjid, sekolah, majelis ta’lim, majalah, buletin, dan
amalan-amalan kebaikan lainnya. Di antara keutamaan shadaqah:
Mendapatkan Pahala yang Berlipat Ganda
Yang mana dengan shadaqah tersebut Allah -Subhanahu wa Ta’ala-
memuliakan kaum muslimin, menyucikan harta mereka, serta memberikan
ganjaran bagi mereka dengan ganjaran yang berlipat ganda dan
menuliskannya disisi-Nya sebagai kebaikan yang sempurna. Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ
أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.”. (QS. Al-Baqarah: 245)
Tanda Ketaqwaan
Shadaqah adalah tanda dan ciri ketaqwaan seorang muslim.Allah -Ta’ala- berfirman,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُونَ
“Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa,. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib,
yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka“. (QS. Al Baqarah : 2-3)
Bukti keimanan
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ
Sedekah adalah BUKTI (keimanan)
(HR Muslim, dan selainnya)
“As-Shodaqotu Burhaanun” maksudnya; sedekah adalah bukti kejujuran
iman seseorang. Sedekah membedakan iman seorang mukmin sejati dengan
iman yang dicemari oleh sifat munafiq. Karena orang-orang munafiq sangat
pelit dalam bersedekah.
al-Imam Ibnul ‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
“Sedekah adalah bukti kejujuran cinta ber-taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah, karena tabiat jiwa sangat mencintai harta, dan tidaklah
seseorang rela mengorbankan sesuatu yang ia cintai melainkan untuk
meraih sesuatu yang lebih ia cintai (dari harta tersebut, yaitu Allah).
Maka ini burhan (bukti) akan kejujuran imannya serta kekuatan yakinnya
kepada Allah.”
[Syarh al-Arba’iin hal. 260]
Bekal menuju akhirat
Akan tiba masa yang tidak ada lagi jual beli, dan tidak bermanfaat
persahabatan. Oleh karena itu, sebelum tiba masa itu hendaknya seseorang
mempersiapkan perbekalan yang bisa membantunya yaitu dengan
banyak-banyak bershadaqah. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا
شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah)
sebagian dari rezki yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang hari
yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi
syafa’at. dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim“. (QS. Al
Baqarah : 254)
Al-Allamah Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’diy -rahimahullah- berkata,
“Ini merupakan kelembutan Allah terhadap para hamba-Nya, karena Allah
memerintahkan mereka untuk mempersembahkan sesuatu yang Allah berikan
kepada mereka, berupa shadaqah wajib (zakat), dan shadaqah mustahab
(tidak wajib) agar hal itu menjadi tabungan, dan pahala yang banyak bagi
mereka pada hari orang-orang yang beramal butuh kepada setitik
kebaikan; tak ada lagi perniagaan di hari itu. Andai seorang menebus
dirinya dengan emas sepenuh bumi dari siksaan pada hari kiamat, maka tak
akan diterima darinya; tak akan bermamfaat baginya seorang kekasih, dan
sahabat, baik itu karena kedudukannya atau syafa’atnya. Itulah hari
yang merugi para pelaku kebatilan di dalamnya, dan akan terjadi kehinaan
bagi orang-orang yang zhalim”.
[Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal. 110)]
Perisai dari api neraka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لِيَتَّقِ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ النَّارَ وَلَوْبِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Handaknya salah seorang diantara kalian melindungi wajahnya dari neraka, sekalipun dengan sebelah biji korma”.
[HR. Ahmad. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib (864)]
Penghapus kesalahan
Setiap anak cucu adam tidak lepas dari kesalahan, namun Allah yang
Maha pemurah telah memberikan suatu sebab yang dengannya bisa
menghapuskan kesalahan-kesalahan dari anak cucu adam dan sebab tersebut
adalah dengan bershadaqah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ
“Shadaqah itu memadamkan (menghapuskan) kesalahan sebagaimana air memadamkan api”
[HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/321), dan Abu Ya’laa. Lihat Shohih At-Targhib (1/519)]
Pelindung di padang mahsyar
Ketika manusia menanti keputusan di padang mahsyar dan sibuk dengan
urusan masing-masing. Manusia pada saat itu tidak peduli lagi dengan
orang-orang yang ada di sekitar mereka. Matahari didekatkan dengan jarak
satu mil, pada saat itulah seseorang sangat membutuhkan pahala shadaqah
yang bisa menaungi mereka. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda,
كُلُّ امْرِئٍ فِيْ ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ
“Setiap orang berada dalam naungan shadaqahnya hingga diputuskan
perkara di antara manusia“. [HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan
Al-Hakim. Hadits ini shohih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh
Al-Albaniy dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib (872)]
Pemadam panas di alam kubur
Tentunya seorang mukmin apabila dia mati maka dia mendambakan
kuburnya adalah termasuk taman di antara taman-taman surga dan jauh dari
panasnya api neraka. Rasulullah yang sangat sayang kepada umatnya telah
memberikan tuntunan yang bisa menyelamatkan umatnya dari panasnya api
neraka yaitu bershadaqah. Beliau bersabda :
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ عَنْ أَهْلِهَا حَرَّ القُبُوْرِ
“Sesungguhnya shadaqah akan memadamkan panasnya kubur bagi pemilik
shadaqah”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir, dan Al-Baihaqiy. Syaikh
Al-Albaniy meng-hasan-kan hadits ini dalam Ash-Shohihah (3484)]
Shadaqah Adalah Sebab Malaikat Mendo’akan Seseorang
Sungguh suatu kemuliaan tersendiri bila seseorang dido’akan oleh
makhluk yang dekat dengan Allah yaitu para malaikat, tentu do’a tersebut
adalah do’a yang mustajab. Maka dengan bershadaqahlah bisa menjadi
sebab seseorang dido’akan oleh para malaikat. Rasululullah -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bersabda :
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ العَبْدُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ
فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَ يَقُوْلُ
الآخَرُ: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tak ada suatu hari pun seorang hamba berada di dalamnya, kecuali ada
dua orang malaikat akan turun; seorang diantaranya berdo’a, “Ya Allah
berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq”. Yang lainnya berdo’a, “Ya
Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan infaq”.”. [HR.
Al-Bukhoriy dan Muslim ]
Termasuk tujuh golongan yang dinaungi
Padang Mahsyar merupakan tempat pengadilan. Allah akan mengadili dan
memutuskan segala urusan dan perkara setiap hamba-hamba-Nya, baik itu
berkaitan dengan hak Rabb-nya, orang lain, ataupun dirinya sendiri. Hari
itu merupakan hari yang amat mengerikan dan menakutkan sehingga semua
makhluk tunduk dan pasrah kepada Sang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana,
Allah Rabb alam semesta.
يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفًّا لَا يَتَكَلَّمُونَ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا يَ
“Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf, mereka
tidak berkata-kata kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh
Tuhan Yang Maha Pemurah; dan ia mengucapkan kata yang
benar”.(QS.An-Naba’: 38)
وَتَرَى كُلَّ أُمَّةٍ جَاثِيَةً كُلُّ أُمَّةٍ تُدْعَى إِلَى كِتَابِهَا الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap
umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu
diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al-Jatsiyah:
28)
Belum lagi matahari didekatkan dengan sedekat-dekatnya. Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, Ketika itulah para hamba
menunggu dan mengharapkan perlindungan dan naungan dari Rabb-nya.
Diantara golongan yang mendapatkan naungan saat itu, orang yang ikhlas
bershodaqoh. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
“Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat yang mana tidak ada naungan selain naungan Allah…
وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمُ يَمِيْنُهُ مَا تُنْفِقُ شِمَالُهُ
seseorang yang bershadaqoh dengan suatu shadaqoh yang ia rahasiakan;
sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa-apa yang telah
dishadaqohkan oleh tangan kanannya”.
[HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (629), Muslim dalam Shohih-nya (1032)]
Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata,
“Sikap ini merupakan tanda kuatnya iman seseorang di mana cukup
baginya bahwa Allah mengetahui amalannya (sehingga tidak butuh diketahui
oleh orang lain-pen). Dan hal ini menunjukkan sikap menyelisihi hawa
nafsu, karena hawa nafsu ingin agar dirinya memperlihatkan shadaqah-nya
dan ingin dipuji oleh manusia. Oleh karenanya sikap menyembunyikan
shadaqah membutuhkan keimanan yang sangat kuat untuk melawan hawa nafsu”
(Fathul Baari 4/62; dari artikel ustadz firanda)
Ada beberapa penafsiran ulama tentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam “hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang di-shadaqah-kan
oleh tangan kanannya” sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajr
dalam Fathul Baari, diantaranya :
Disebutkan tangan kiri dengan tangan kanan karena tangan kiri sangat
dekat dengan tangan kanan, dan dimana ada tangan kanan maka tangan kiri
menyertainya. Meskipun demikian, karena tangan kanan terlalu
menyembunyikan shadaqahnya hingga temannya yang paling dekat yaitu
tangan kiri tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanan.
Lafal Nabi ini menunjukkan bentuk mubaalagoh (berlebih-lebihan) dalam
menyembunyikan shadaqahnya. (Diantara) maksud (lain)nya yaitu hingga
malaikat yang ada di kirinya tidak mengetahui apa yang telah ia
shadaqah-kan.
Diantara bentuk pengamalan hadits ini yaitu jika seseorang ingin
bershadaqah kepada saudaranya pedagang yang miskin maka iapun membeli
barang dagangan saudaranya tersebut (tanpa menawar harga barang
tersebut) bahkan dengan harga jual yang tinggi atau untuk melariskan
barang dagangan saudaranya tersebut. Maksud dari tangan kiri yaitu
dirinya sendiri, artinya ia berinfaq dan menyembunyikan infaqnya
sampai-sampai dirinya sendiri tidak tahu (lupa) dengan shadaqah yang
telah ia keluarkan.
[Fathul Baari (2/146); dari artikel ustadz firanda]
Disediakan kamar-kamar di surga
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا
“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya
terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian
luarnya.”
Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasululullah?”
Nabi menjawab:
لِمَنْ أَطَابَ الْكَلَامَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ
“Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang
senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia pada
tidur.”
[HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan]
Kelak akan dipanggil dari salah satu pintu surga (pintu shadaqah)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ
Dan orang yang termasuk golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”
(HR Bukhariy)
Sungguh agung dan besar keutamaan berhadaqah, akan tetapi suatu
amalan tidak akan menjadi agung, tanpa disertai dengan niat yang ikhlas
dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Semoga Allah memudahkan kita untuk bershadaqah baik shadaqah berupa materi, tenaga, pikiran maupun berupa ucapan. Aamiin…
Sumber :
- Amal yang dibenci dan yang dicintai Allah: panduan untuk muslimah,
Majdi Fathi Sayyid, Nabhani Idris, Gema Insani, 1998, Hal 92-97
- Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 15 Tahun I. Penerbit : Pustaka
Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58,
Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n
Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah
– Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan hubungi alamat di
atas. (infaq Rp. 200,-/exp).
Selasa, 01 Mei 2012
Minggu, 29 April 2012
ISTINJA
Kalau demikian berarti istinja sangat penting untuk kita pahami karena kalau istinja salah maka semuanya ikut salah.
Ulama sufi mengatakan “bagi mereka yang tidak mengerti maka air satu lautanpun tidak akan mampu untuk membersihkan diri mereka dari najis“ ini mengambarkan seakan-akan istinja itu sulit, tapi “bagi yang mengerti air satu gelas saja sudah cukup untuk membersihkan“
Selama ini kebanyakan orang mengartikan istinja sebatas membersihkan kotoran fisik yang melekat pada dirinya, mereka mengira kalau sudah mereka bersihkan kotoran tersebut sehingga hilang rupa, warna dan rasanya maka mereka sudah suci padahal mereka lupa kalau yang mereka bersihkan itu tadinya adalah ampas dari apa yang mereka masukan kedalam tubuh mereka.
Disinilah letak masalahnya, bahwa selama ini mereka sibuk dengan istinja akhir (setelah menjadi ampas) tapi istinja awal (makanan yang mereka makan) tidak mereka perhatikan.
Istinja awal adalah ketika kita mensucikan apa–apa yang akan kita makan, mulai dari makanan (rezeki) yang kita cari, apakah sudah suci atau ada hak orang lain yang ikut pada makanan itu, karena apakah mungkin ketika makanan yang kita masukan kedalam diri berasal dari barang yang bukan hak kita atau barang haram kemudian bisa kita sucikan dengan hanya menghilangkan rupa, warna dan rasa saja?
Suatu saat..
Ketika kita sedang menghadapi makanan yang telah dihidangkan, tentunya kita tidak tahu asal muasal makanan itu hingga ada di piring kita seperti, apakah ayam yang kita makan itu di sembelih dengan benar, atau mungkin juga ayam itu mati sebelum disembelih (bangkai), atau lauk pauk lainnya yang ada di piring kita, apakah sudah benar cara mendapatkannya.
Disinilah kita harus mensucikan dulu semuanya sebelum masuk kedalam diri.
Bahwa makanan atau rezeki yang ada dihadapan kita memang kita yang cari tapi semua itu bukan kita yang punya, kita harus minta izin kepada yang punya, apa kita pikir barang yang bernyawa yang ada dihadapan kita itu iklas kita makan jasadnya? Ingatlah bahwa makanan itu semua nantinya yang akan menjaga dan memelihara diri kita, tubuh kita, jiwa kita, supaya sehat dan segar, karena nantinya makanan yang masuk itu akan diproses oleh tubuh kemudian saripati dari makanan tadi diserap oleh jantung untuk kemudian diedarkan keseluruh tubuh dan akan menjadi “ NUR ” yang masuk ke sel sperma kita, ke hati, ke jantung ke darah ke semua organ tubuh kita untuk membentuk karakter kita dan menerangi pikiran kita.
Bagaimana jadinya kalau yang masuk itu bukan hak kita, apa tidak pikirkan efeknya nanti untuk diri dan untuk turunan kita?
Tuhan tidak pernah mendholimi umatnya tapi kitalah yang telah mendholimi diri kita dengan diri kita.
Sisa dari saripati makanan tadilah yang akan menjadi kotoran atau disebut rumput turmain yang kemudian kita buang melalui dubur sebagai najis.
Najis ini bukan tempatnya di bumi walau sekarang bumi telah menerimanya, memang bumi kita ini bergelar mukmin yang sabar, jadi apapun yang kita berikan sekalipun kotor akan diolah untuk kemudian dipersembahkan kepada kita hasil yang baik-baik saja, tapi kita perlu ingat bahwa bumi mengharhagai kita karena kita adalah khalifah yang memerintah di muka bumi, tapi itu kalau amanah sebagai pemerintah (khalifah) bisa kita pertanggung jawabkan, karena pemerintah yang baik itu tidak “mentang-mentang” tapi bisa mengenal siapa yang di perintahnya, apakah kita sudah mengenal siapa bumi ini? Atau minimal Bertegur sapa dengannya?
Ingatlah, Semua ada hitung-hitunganya, tidak ada yang gratis di muka bumi ini, sudah berapa banyak kotoran yang kita berikan kepada bumi ini semenjak pertama kali kita hadir di bumi? Apakah kita pikir bumi mau menerimanya begitu saja? Dimanakah harus kita tempatkan kotoran ini agar suatu saat kotoran ini tidak menutup jalan kita untuk kembali?
HAKEKAT SHOLAT
Berdiri menyaksikan diri sendiri, kita bersaksi dengan diri kita sendiri, bahwa tiada yang nyata pada diri kita hanya diri bathin (Allah) dan diri zahir kita (Muhammad) adalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT.
Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatehah yaitu : Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal) Kalimat alhamdu ini diterima ketika rasulullah isra’ dan mi’raj dan mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Yaitu : Adam AS. Tatkala Roh (diri bathin) Adam AS. Sampai ketahap dada, Adam AS pun bersin dan berkata alhamdulillah artinya : segala puji bagi Allah Apa yang di puji adalah : Zat (Allah) Sifat (Muhammad) Asma’ (Adam) Af’al (Manusia) Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti : Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata.Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta.. tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 72 Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu. Artinya : “sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya” Dan karena firman Allah inilah kita mengucap : “Asyahadualla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah” Yang berarti : Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah Semata dengan tubuh zahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai dengan tanggal yang telah ditentukan. Manusia akan berguna disisi Allah jika ia dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri.
Karena bila manusia dapat mengenal dirinya, maka dengan itu pulalah ia dapat mengenal Allah. Hadits Qudsi : “MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU” Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Allah ALIF ITU ARTINYA : NIAT SEMBAHYANG LAM ITU ARTINYA : BERDIRI HA ITU ARTINYA : RUKU’ MIM ITU ARTINYA : SUJUD DAL ITU ARTINYA : DUDUK atau bisa juga kalau di kias lagi jadi Empat : Berdiri (alif=jalalullah), Rukuk (lam awal=jamalullah), Sujud (lam akhir=kaharullah), Duduk (haa=kamalullah), menjadi nasar api, angin, air dan tanah dlm diri kita Perkataan pertama dalam sembahyang itu adalah : Allahu Akbar (Allah Maha Besar) Perkata ini diambil dari peringatan ketika sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam AS. Adam AS. Pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Dalam sembahyang harus memenuhi 3 syarat : 1. Fiqli (perbuatan) 2. Qauli (bacaan) 3. Qalbi (Hati atau roh atau qalbu)
MENGAPA KITA SEMBAHYANG SEHARI SEMALAM 17 RAKAAT : Adalah mengambil pengertian sebagai berikut : Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah 1. AH itu menandakan sembahyang subuh…….”2”rakaat yaitu…Zat dan Sifat 2. ALLAH itu menandakan sembahyang Zohor “4” rakaat yaitu :Wujud,Alam,Nur dan Syahadat. 3. MUHAMMAD itu menandakan sembahyang Asar “4” rakaat yaitu : Tanah,Air,Api dan Angin. 4. ADAM itu menandakan sembahyang Magrib “3” rakaat yaitu :Ahda,Wahda,dan Wahdia. 5. HAWA itu menandakan sembahyang Isya “4” rakaat yaitu : Mani,Manikam,Madi dan DI.
MENGAPA KITA MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT 9 KALI DALAM 5 WAKTU SEMBAHYANG Sebab diri bathin manusia mempunyai 9 wajah. Dua kalimah syahadat pada : 1. Sembahyang SUBUH 1 kali itu memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIRUSIR (Rahasia didalam Rahasia) 2. Sembahyang ZOHOR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIR dan AHDAH 3. Sembahyang ASAR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat WAHDA dan WAHDIA 4. Sembahyang MAGHRIB 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat AHAD dan MUHAMMAD 5. Sembahyang ISYA 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat MUSTAFA dan MUHAMMAD.
MENGAPA KITA HARUS BERNIAT DALAM SEMBAHYANG Karena : niat itu merupakan kepala sembahyang. Hakekat niat letaknya pada martabat alif dan ataupun kalbu manusia didalam sembahyang itu kita lapazkan didalam hati : Niat sbb : “aku hendak sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.” Dalilnya : 1. LA SHALATAN ILLA BI HUDURIL QALBI Artinya : Tidak Sah Shalat Nya Kalau Tidak Hadir Hatinya (Qalbunya) 2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFATULLAH Artinya : Tidak Syah Sholat Tanpa Mengenal Allah 3. WAKALBUL MU’MININ BAITULLAH Artinya : Jiwa Orang Mu’min Itu Rumahnya Allah 4. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya : Aku (Allah) Lebih Dekat Dari Urat Nadi Lehermu 5. IN NAMAS SHALATU TAMAS KUNU TAWADU’U Artinya : Hubungan Antara Manusia Dengan Tuhannya Adalah Cinta. Cintailah Allah Yang Karena Allah Engkau Hidup Dan Kepada Allah Engkau Kembali. (H.R. Tarmizi) 6. AKI MIS SHALATA LI ZIKRI Artinya : Dirikan Shalat Untuk Mengingat Allah (QS. Taha : 145) Sedangkan :
1. Al-Fatehah ialah merupakan tubuh sembahyang 2. Tahayat ialah merupakan hati sembahyang 3. Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyan HAKEKAT AL-FATEHA DALAM SHALAT Membersihkan hati dari syirik kepada Allah SWT Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu : 1. Bulu 2. Kulit 3. Daging 4. Darah 5. Tulang 6. Lemak 7. Lendir 7 ayat dalam Al-Fatehah merupakan tawaf 7 kali keliling ka’bah. HAKEKAT ALLAHU AKBAR DALAM SHALAT IALAH : “Mengambil magna ucapan Nabi Adam AS. Ketika berdiri menyaksikan dirinya sendiri dan Nabi Adam AS. Mengucap kalimah Allahu Akbar. Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu : 1. Wujud 2. Ilmu 3. Nur 4. Syahadat Perkataan Allah pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat zat sedangkan perkataan “Akbar” pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat : sifat. Jadi zat dan sifat itu tidak boleh berpisah, zat dan sifat sama-sama saling puji memuji.
DALAM SHALAT ITU JUGA MENGANDUNG HAKEKAT ZAKAT. Hakekat zakat dalam shalat ialah : Mengandung makna “ Pembersih hati “ dari pada syirik kepada Allah SWT. “ iiya Kanak Budu Wa iiya Kanasta’in” Hanya kepada Allah lah aku menyembah dan hanya kepada Allah lah aku mohon pertolongan.
HAKEKAT PUASA DALAM SHALAT : 1. Tidak Boleh Makan Dan Minum 2. Mata Berpuasa 3. Telinga Berpuasa 4. Kulit Berpuasa 5. Hati Berpuasa
HAKEKAT WHUDU ADALAH : Ialah membersihkan diri sebelum menunaikan shalat : Niat Membasuh Muka Membasuh Tangan Membasuh Kepala Membasuh Telinga Membasuh Kaki Tertib Hakekat Niat dalam Wudhu : ialah “tiada wujud pada diriku hanya Allah semata” Jadi Kita Mengisbatkan Hidup Kita, Ilmu Kita, Pandangan Kita, Penglihatan, Kuasa Kita, Kata-Kata Kita Semuanya Adalah Hak Allah Semata. (Ia Haiyun, Ia Alimun, Ia Sami’un, Ia Basirun, Ia Kadirun, Ia Maridun, Ia Mutakalimun Bil Hakki Illallah). Hakekat Membersihkan Muka dalam wuduk ialah : Membuang semua sifat : sombong angkuh, kemuliaan, kebesaran,yang ada pada diri manusia. Hakekat Membasuh Tangan dalam wuduk ialah : Membuang semua sifat-sifat aku berkuasa, aku orang kuat dan aku orang besar. Hakekat Membasuh Kepala dalam wuduk ialah : Membersihkan segala fikiran dari segala urusan dunia Hakekat Membasuh Telinga dalam wuduk ialah : Membersih segala pendengaran dari hal-hal yang tidak perlu Hakekat Membasuh Kaki dalam wuduk ialah : Kita harus membetulkan perjalanan kita
Hal ini terkandung dalam surat Al-Fatehah yaitu : Alhamdu (Alif, Lam, Ha, Mim, Dal) Kalimat alhamdu ini diterima ketika rasulullah isra’ dan mi’raj dan mengambil pengertian akan hakekat manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Yaitu : Adam AS. Tatkala Roh (diri bathin) Adam AS. Sampai ketahap dada, Adam AS pun bersin dan berkata alhamdulillah artinya : segala puji bagi Allah Apa yang di puji adalah : Zat (Allah) Sifat (Muhammad) Asma’ (Adam) Af’al (Manusia) Jadi sembahyang itu bukan sekali-kali berarti : Menyembah, tapi suatu istiadat penyaksian diri sendiri dan sesungguhnya tiada diri kita itu adalah diri Allah semata.Kita menyaksikan bahwa diri kitalah yang membawa dan menanggung rahasia Allah SWT. Dan tiada sesuatu pada diri kita hanya rahasia Allah semata serta.. tiada sesuatu yang kita punya : kecuali Hak Allah semata. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Ahzab 72 Inna ‘aradnal amanata ‘alas samawati wal ardi wal jibal fa abaina anyah milnaha wa’asfakna minha wahamalahal insanu. Artinya : “sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung tapi mereka enggan menerimannya (memikulnya) karena merasa tidak akan sanggup, lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya” Dan karena firman Allah inilah kita mengucap : “Asyahadualla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah” Yang berarti : Kita bersaksi dengan diri kita sendiri bahwa tiada yang nyata pada diri kita sendiri hanya Allah Semata dengan tubuh zahir kita sebagai tempat menanggung rahasia Allah dan akan menjaganya sampai dengan tanggal yang telah ditentukan. Manusia akan berguna disisi Allah jika ia dapat menjaga amanah Rahasia Allah dan berusaha mengenal dirinya sendiri.
Karena bila manusia dapat mengenal dirinya, maka dengan itu pulalah ia dapat mengenal Allah. Hadits Qudsi : “MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU” Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Allah ALIF ITU ARTINYA : NIAT SEMBAHYANG LAM ITU ARTINYA : BERDIRI HA ITU ARTINYA : RUKU’ MIM ITU ARTINYA : SUJUD DAL ITU ARTINYA : DUDUK atau bisa juga kalau di kias lagi jadi Empat : Berdiri (alif=jalalullah), Rukuk (lam awal=jamalullah), Sujud (lam akhir=kaharullah), Duduk (haa=kamalullah), menjadi nasar api, angin, air dan tanah dlm diri kita Perkataan pertama dalam sembahyang itu adalah : Allahu Akbar (Allah Maha Besar) Perkata ini diambil dari peringatan ketika sempurnanya roh diri Rahasia Allah itu dimasukkan kedalam tubuh Adam AS. Adam AS. Pun berusaha berdiri sambil menyaksikan keindahan tubuhnya dan berkata : Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Dalam sembahyang harus memenuhi 3 syarat : 1. Fiqli (perbuatan) 2. Qauli (bacaan) 3. Qalbi (Hati atau roh atau qalbu)
MENGAPA KITA SEMBAHYANG SEHARI SEMALAM 17 RAKAAT : Adalah mengambil pengertian sebagai berikut : Hawa, Adam, Muhammad, Allah dan Ah 1. AH itu menandakan sembahyang subuh…….”2”rakaat yaitu…Zat dan Sifat 2. ALLAH itu menandakan sembahyang Zohor “4” rakaat yaitu :Wujud,Alam,Nur dan Syahadat. 3. MUHAMMAD itu menandakan sembahyang Asar “4” rakaat yaitu : Tanah,Air,Api dan Angin. 4. ADAM itu menandakan sembahyang Magrib “3” rakaat yaitu :Ahda,Wahda,dan Wahdia. 5. HAWA itu menandakan sembahyang Isya “4” rakaat yaitu : Mani,Manikam,Madi dan DI.
MENGAPA KITA MENGUCAP DUA KALIMAH SYAHADAT 9 KALI DALAM 5 WAKTU SEMBAHYANG Sebab diri bathin manusia mempunyai 9 wajah. Dua kalimah syahadat pada : 1. Sembahyang SUBUH 1 kali itu memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIRUSIR (Rahasia didalam Rahasia) 2. Sembahyang ZOHOR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat SIR dan AHDAH 3. Sembahyang ASAR 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat WAHDA dan WAHDIA 4. Sembahyang MAGHRIB 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat AHAD dan MUHAMMAD 5. Sembahyang ISYA 2 kali memberi kesaksian pada wajah kita pada martabat MUSTAFA dan MUHAMMAD.
MENGAPA KITA HARUS BERNIAT DALAM SEMBAHYANG Karena : niat itu merupakan kepala sembahyang. Hakekat niat letaknya pada martabat alif dan ataupun kalbu manusia didalam sembahyang itu kita lapazkan didalam hati : Niat sbb : “aku hendak sembahyang menyaksikan diriku karena Allah semata-mata.” Dalilnya : 1. LA SHALATAN ILLA BI HUDURIL QALBI Artinya : Tidak Sah Shalat Nya Kalau Tidak Hadir Hatinya (Qalbunya) 2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFATULLAH Artinya : Tidak Syah Sholat Tanpa Mengenal Allah 3. WAKALBUL MU’MININ BAITULLAH Artinya : Jiwa Orang Mu’min Itu Rumahnya Allah 4. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya : Aku (Allah) Lebih Dekat Dari Urat Nadi Lehermu 5. IN NAMAS SHALATU TAMAS KUNU TAWADU’U Artinya : Hubungan Antara Manusia Dengan Tuhannya Adalah Cinta. Cintailah Allah Yang Karena Allah Engkau Hidup Dan Kepada Allah Engkau Kembali. (H.R. Tarmizi) 6. AKI MIS SHALATA LI ZIKRI Artinya : Dirikan Shalat Untuk Mengingat Allah (QS. Taha : 145) Sedangkan :
1. Al-Fatehah ialah merupakan tubuh sembahyang 2. Tahayat ialah merupakan hati sembahyang 3. Salam ialah merupakan kaki tangan sembahyan HAKEKAT AL-FATEHA DALAM SHALAT Membersihkan hati dari syirik kepada Allah SWT Mengingat kita bahwa tubuh manusia itu mempunyai 7 lapis susunan jasad yaitu : 1. Bulu 2. Kulit 3. Daging 4. Darah 5. Tulang 6. Lemak 7. Lendir 7 ayat dalam Al-Fatehah merupakan tawaf 7 kali keliling ka’bah. HAKEKAT ALLAHU AKBAR DALAM SHALAT IALAH : “Mengambil magna ucapan Nabi Adam AS. Ketika berdiri menyaksikan dirinya sendiri dan Nabi Adam AS. Mengucap kalimah Allahu Akbar. Peristiwa ini merupakan tajali (perpindahan) diri rahasia Allah sehingga dapat di tanggung oleh manusia dengan 4 perkara yaitu : 1. Wujud 2. Ilmu 3. Nur 4. Syahadat Perkataan Allah pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat zat sedangkan perkataan “Akbar” pada Allahu Akbar mengandung magna atau martabat : sifat. Jadi zat dan sifat itu tidak boleh berpisah, zat dan sifat sama-sama saling puji memuji.
DALAM SHALAT ITU JUGA MENGANDUNG HAKEKAT ZAKAT. Hakekat zakat dalam shalat ialah : Mengandung makna “ Pembersih hati “ dari pada syirik kepada Allah SWT. “ iiya Kanak Budu Wa iiya Kanasta’in” Hanya kepada Allah lah aku menyembah dan hanya kepada Allah lah aku mohon pertolongan.
HAKEKAT PUASA DALAM SHALAT : 1. Tidak Boleh Makan Dan Minum 2. Mata Berpuasa 3. Telinga Berpuasa 4. Kulit Berpuasa 5. Hati Berpuasa
HAKEKAT WHUDU ADALAH : Ialah membersihkan diri sebelum menunaikan shalat : Niat Membasuh Muka Membasuh Tangan Membasuh Kepala Membasuh Telinga Membasuh Kaki Tertib Hakekat Niat dalam Wudhu : ialah “tiada wujud pada diriku hanya Allah semata” Jadi Kita Mengisbatkan Hidup Kita, Ilmu Kita, Pandangan Kita, Penglihatan, Kuasa Kita, Kata-Kata Kita Semuanya Adalah Hak Allah Semata. (Ia Haiyun, Ia Alimun, Ia Sami’un, Ia Basirun, Ia Kadirun, Ia Maridun, Ia Mutakalimun Bil Hakki Illallah). Hakekat Membersihkan Muka dalam wuduk ialah : Membuang semua sifat : sombong angkuh, kemuliaan, kebesaran,yang ada pada diri manusia. Hakekat Membasuh Tangan dalam wuduk ialah : Membuang semua sifat-sifat aku berkuasa, aku orang kuat dan aku orang besar. Hakekat Membasuh Kepala dalam wuduk ialah : Membersihkan segala fikiran dari segala urusan dunia Hakekat Membasuh Telinga dalam wuduk ialah : Membersih segala pendengaran dari hal-hal yang tidak perlu Hakekat Membasuh Kaki dalam wuduk ialah : Kita harus membetulkan perjalanan kita
Langganan:
Postingan (Atom)